Toleransi Agama-Agama Di dalam Perspektif Penghayat Kepercayaan Agama Jawa

Keputusan MK No. 97/PUU-XIV/2016

Oleh: Ali Ridwan, S.PdI

Perlu diketahui di Surakara dari tahun ke tahun Paguyuban, perkumpulan, kejiwaan, kerohanian, kebatinan dan paranormal yang termonitor, terbina, terfasilitasi oleh Bakorpakem ada 30 Paguyuban, tentunya tentang eksisnya pasang surut. Perlu diketahui juga sebenarnya ditanah jawa ini dari nama kuno-makuni ja-ma-ju-ja itu sudah ada agama, yang disebut AGAMA JAWA, AGAMA TANPA KITAB TANPA NABI.

Merujuk disertasi Prof.Dr.Suwardi Endraswara, M.Hum., yang sudah diuji dihadapan para penguji secara akademis, “AGAMA JAWA” itu ADA, NYATA, dan EKSIS berkesinambungan sampai sekarang. Menurut Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum jauh sebelum era Hindu-Buddha masuk ke Nusantara, yang artinya sangat jauh sebelum era Islam masuk ke Nusantara.

Agama Jawa senantiasa dipertahankan turun temurun sampai sekarang, lahirnya istilah-istilah : agama Hindu-Jawa, Islam-Jawa, Cina-Jawa, Buddha-Jawa, dst.nya. Itu sebenarnya adalah merupakan indikasi bahwa, di Jawa ini sudah ada pranata moralitas dan spiritual (Agama Jawa), yang unik dan khas, namun seiring berjalannya waktu dimana pengaruh Agama-agama yang masuk di Nusantara dan berbaur dengan rukun dan damai, terjadilah sinkretisme diantara keduanya. Berdasar penelitian memang demikian adanya, pondasi/landasan dasar sebagai Titah manembah: 1) Manunggaling kawula lan Gusti, 2) Hamemayu Hayuning Bawono, 3) Hurip mat sinamadan ing sasamo titah.

Hakikat pencarian URIP dalam Agama Jawa, adalah menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin”. Bisa/mampu menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin”, kelak nantinya akan mudah dan selamat menuju “Sangkan Paraning Dumadi”. Suasana batin akan semakin plong, bolong, dan suwung  pada saat fenomena ajaib itu dapat diraih. Karakteristik agama Jawa selalu berpikir pada hal-hal ghaib. Maka kegiatan keagamaan Jawa, bergerak pada hal-hal Ghaib cukup banyak. Berbagai ritual di Gunung Lawu, Gunung-Kemukus, Gunung-Srandil, Gunung-Kawi, dan lain-lain adalah contoh praktik keagamaan Jawa. Contoh ini mengindikasikan hadirnya kepercayaan religius orang Jawa.

Konteks kehidupan agama Jawa itu kompleks. Ada yang mengasumsikan, agama Jawa adalah Klenik. Kata klenik sendiri berasal dari kata “klenikan”, artinya berkomunikasi dengan berbisik-bisik. Klenik tersebut berupa kata-kata sakral dan mantra, untuk membangun aroma Kejawen. Pembicaraan dalam keadaan yang sepi, diibaratkan “suket godhong ora kena krungu”, itulah ciri klenik. Yang dicari pergulatan klenik adalah inti spiritualitas Jawa.

Ekspresi Agama Jawa jelas bervariasi. Tidak ada aturan baku dalam menjalankan agama Jawa. Ekspresi itu sebuah fenomena, yang kadang-kadang sulit dijangkau oleh nalar sehat. Fenomena religius Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori :

(1). KEPERCAYAAN

(2). RITUS.

Agama Jawa Bukan Buddhisme

Ada yang beranggapan Agama Jawa adalah penyebutan atau nama lain dari Buddhisme yang berkembang di tanah Jawa. Tapi anggapan ini tidak benar. Bahwa pernah terjadi sinkretisme diantara keduanya di jaman dulu kala, itu memang benar. Tetapi Agama Jawa berbeda dengan Buddhisme.

Buddhisne menyatakan diri sebagai moralitas tanpa Tuhan dan atheisme tanpa hakikat.

Memang dalam beberapa vihara Buddhisme, ada yang memandang Sang Buddha sebagai Tuhan, dia memiliki candi sendiri dan sebagai objek pemujaan, tapi cara membukanya sangat sederhana, yakni hanya dengan mempersembahkan sesaji berupa bunga-bunga dan memuja barang-barang sakral atau patung-patung sakral. Ini adalah sekedar bentuk pemujaan yang bersifat “mengingat” .  Penuhanan Buddha ini hanya khas bagi apa yang dinamakan Buddhisme Utara. Sedangkan bagi Buddhisme Selatan memandang Sang Buddha adalah manusia yang memiliki kejutan luar biasa melebihi kekuatan manusia biasa.

Agama Jawa, tetap meyakini adanya Tuhan, ialah IA yang  Tan Kena Kinaya Ngapa.

Agama Jawa selalu berkiblat pada Tuhan sebagai sumber pemancar hidup. Meskipun demikian, Agama Jawa juga bukanlah Islam bukan pula Hindu. Ketika dijabarkan dengan mendetail, asalkan kita objektif maka kita akan menemukan bahwa Agama Jawa bukanlah produk turunan dari Islam maupun Hindu.

Agama Jawa

Pemujaan roh (spirit cults) merupakan perwujudan spiritualisme asli orang Jawa. Pemujaan dilakukan pada ruang yang dipandang sakral (wingit) , misalkan di bawah pohon besar, di dekat mata air pegunungan, di makam leluhur, di sendang atau sungai yang pernah menjadi petilasan bertapa, dan sebagainya. Pemujaan roh dan benda-benda itu muncul, karena sebelum Hinduisme datang, orang Jawa telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiusitasnya dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Akar Agama Jawa itu yang menyebabkan hadirnya ruang-ruang spiritual semakin bertambah.

Pada dasarnya, ruang spiritual yang sering dihadiri Penghayat guna mengaktualisasikan laku budi luhur dan budi pekerti, terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu : (1) Petilasan, (2) makam, (3) gunung, (4) air.

Manembah Dan Nguja Rasa

Manembah berasal dari kata “sembah” yan berarti menghormati dan memuja. Manembah sebenarnya sebuah upaya nguja rasa artinya membebaskan rasa dari kungkungan raga. Nguja Rasa akan melahirkan kebebasan rasa, sehingga suasana semakin khusyuk dapat merasuk ke semak-semak spiritual. Menurut pemahaman Kejawen, maka manembah adalah menghormat dan memuja hanya kepada TUHAN (Ingsun). Jadi tataning manembah atau tata-cara menyembah adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok untuk berkomunikasi dengan Ingsun. Orang yang senantiasa Manembah, hidupnya akan tenang, tidak menginginkan hal-hal yang bukan jatahnya (ngangsa). Biasanya Manembah ada yang diwujudkan dalam bentuk semedi, ritual, dan mantra. Manembah merupakan upaya pembersihan diri baik dari sisi jasmani atau badaniah maupun dari sisi rohani atau batiniah.

Orang-orang Jawa selalu menyebut Manembah mring Hyang Maha Agung  sebagai kewajiban luhur. Manembah dilakukan dalam bentuk pemujaan, berbakti, sembah, dan manungku puja. Manembah merupakan jalan hidup agar orang Jawa benar-benar selamat menuju alam Kasidan Jati. Hakikat Kasidan Jati adalah suasana Kejawen yang sangat amat misterius. Hidup di dunia yang dicari dan yang ingin diperoleh menurut Kejawen antara lain adalah anggayuh kautamaning urip, rahayu slamet ana ing donya sak akherate kanggo pribadine dhewe lan kanggo sakkeluargane sakpiturune .

Mengenai Kasidan Jati atau mati yang sebenar-benarnya, dalam hal ini bila seseorang telah memahami dan meyakini sangkan paraning dumadi dan melaksanakan dengan benar dan baik tentang Manunggaling Kawula lan Gusti maka pada saat dipanggil kembali oleh Sang Pencipta, akan menghadap pada Tuhan Yang Maha Esa, dengan kasidan jati yang sebenar-benarnya mati yang terpuji, kematian yang sejati.

Semua orang bisa mengalami kasidan jati, yaitu apabila selama hidupnya manusia tidak melanggar “tata paugeraning urip” , selalu tepa selira  atau tidak memaksakan kehendak sendiri dan atau tidak suka memaksakan diri tetapi hidup apa adanya (sak madya), tidak mengumbar hawa nafsu angkara murka, dan selalu mengendalikan diri, berani melakukan laku batin atau tirakat, kuat doanya, senang beramal, bisa hidup bersama dengan tetangganya yang berbeda-beda keyakinan dan kepercayaan.

Demikianlah sekilas ulasan mengenai “Agama Jawa”, Agama tanpa Kitab tercetak dan tertulis, “anane namung Kitab tanpa Tulis, Kitabe Alam Kasunyatan kang gumelar” ,

Agama tanpa Nabi, “Nabine yo dhiri sejatimu dewe” .

Hayu, Hayu, Rahayu, nir ing sambekala,