Kisah Hidup

MAGDALENA KASTINAH

"Hari-Hariku Tidak Sunyi"

Nama saya Magdalena Kastinah  lahir 14 April 1948 di sebuah desa yang tenang di wilayah Purwokerto, yaitu di desa Purwokerto.  Nama ibuku Sutinah dan bapakku bernama Kasmin. Pada tahun 1959 saya berhasil menamatkan  pendidikan di Sekolah Rakyat, kemudian saya melanjutkan pendidikan di SKP Mardikenya, sebuah sekolah Kristen.

Orang tuaku bukanlah orang kaya, maka beaya sekolah menjadi persoalan bagi kami, menjelang kelas II, bapakku mulai sakit-sakitan dan beaya juga semakin sulit, maka saya tak mampu lagi melanjutkan pendidikan ini. Sejak itu saya mulai berpindah-pindah tempat bekerja ikut orang, diawali dari Cilacap terus  ke Surabaya, dan ke Jakarta.

Selama 3 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ibu sakit-sakitan sehingga saya keluar dan merawat ibu, sambil berjualan rujak karena dekat sekolah bruderan, sehingga dagangan itu laris sekali. Saya ikut bulik sambil jualan, dan memiliki untung untuk membantu orang tua.

Tak lama kemudian saya ke Jakarta ikut adiknya ibu (bulik), di sini saya melamar kerja di Pabrik Kaos di daerah Duren Tiga Pasar Minggu. Saya bekerja sejak jam 7  pagi hingga 4 sore, pekerjaanku di bagian obras / zoom, membuat kaos langsung jadi.

Saya sering lembur sampai jam 6, karena untungnya lebih banyak. Situasi pabrik tenang saja. Saya masuk disitu tak ada organisasi apapun.

Suatu hari datang teman, namanya Diran dari SOBSI, saya tertarik masuk organisasi itu. Teman-teman mengajak mendirikan sebuah organisasi serikat buruh.

Awalnya saya tak tahu apa itu serikat buruh, setelah bertanya kesana kemari saya baru tahu bahwa serikat buruh ini untuk memperbaiki nasib buruh. Disitu saya menjadi ketua Serikat Buruh Tekstil, awalnya saya tak tahu mesti bagaimana, lalu saya mulai bertanya dan belajar.

Serikat Buruh tekstil ini menjadi bagian dari SOBSI, sebuah organisasi yang dilegalkan oleh Presiden Sukarno. Semua buruh di pabrik menjadi anggota SOBSI. Kami tidak ada kegiatan apapun, hanya pada waktu upacara 17 agustus kami di jatah untuk pengerahan massa mengikuti upacara. Dengan penuh semangat, setiap 17 Agustus kami ikut upacara di lapangan Banteng.

Sejak hari itu saya mulai aktif memperjuangkan nasib kawan-kawan. Saya menemui direktur untuk memberitahu tentang berdirinya Serikat Buruh. Karena minimnya gaji, kami mengajukan beberapa tuntutan yaitu :

  • Kenaikan gaji
  • Hadiah lebaran
  • Cuti Haid
  • Beras tiap bulan 10 Kg
  • Poliklinik untuk kesehatan

namun tuntutan ini tak dipenuhi, maka  serikat buruh mengadakan mogok kerja selama 1 jam.

Akhirnya setelah negoisasi tuntutan ini dikabulkan perusahaan. Kabar ini sangat menggembirakan bagi kaum buruh.

“…sepanjang waktu saya ditanya dan disuruh mengaku berada di lubang buaya dan dituduh sebagai gerwani. Saya tidak mau mengaku berada di lubang buaya, karena memang saya tak pernah berada disana…”

Pada bulan September 1965, saya mendapat surat dari orang tua, yang menyatakan nenek  akan di operasi,  maka saya mesti pulang. Dengan penuh kawatir saya segera pulang ke Purwokerto. Namun sesampai disana nenekku telah meninggal dunia.

Rupanya kepulanganku ke Purwokerto inilah menjadi titik awal penderitaanku selama bertahun-tahun hingga sekarang. Pada waktu itu usia saya masihlah sangat muda, yaitu 17 tahun.  Saya amat mengingatnya hari itu tanggal 20 Oktober 1965, saya  di tangkap polisi  di rumah dan dibawa ke kantor polisi di Purwokerto,  sejak hari itu saya tak pernah pulang lagi. Mendengar penangkapan ini keluarga saya tak bisa berbuat apa-apa selain menangis.

Setelah di tangkap polisi itu, saya tak diperbolehkan pulang ke rumah, sepanjang waktu saya ditanya dan disuruh mengaku berada di lubang buaya dan dituduh sebagai gerwani. Saya tidak mau mengaku berada di lubang buaya, karena memang saya tak pernah berada disana. Tentang tuduhan gerwani, saya pun tak mengerti, “ saya sama sekali tak mengerti organisasi itu, mana mungkin saya menjadi ketuanya.” 

Saya mengakui bahwa saya menjadi ketua serikat buruh dan memperjuangkan nasib kaum buruh. Saya mengakui bahwa pernah memimpin buruh untuk melakukan tuntutan kepada perusahaan, dan perusahaanpun akhirnya mengabulkan tuntutan kami.

Lalu apa yang salah dengan itu semua bukankah serikat buruh kami ini sebagai organisasi legal yang direstui negara, saya bingung, kenapa setiap diperiksa saya dituduh menjadi gerwani dan berada di lubang buaya.

Selama 2 minggu saya menjalani hukuman di kantor polisi, tidur begitu saja di atas meja, saya sendirian bengong disitu, setiap kali  menjalani pemeriksaan dengan pertanyaan yang tetap, soal lubang buaya dan menjadi gerwani. Setelah 2 minggu saya di pindah ke Semarang di sebuah kantor polisi.

Disitu saya ditahan dicampur dengan para napi pidana, 1 kamar ada 5 orang. Selama disitu saya tidur dan di beri makan nasi bungkus tapi sudah basi, namun saya tidak mau makan, terus ada napi di luar yang baik membelikan nasi.

Komandan datang menanyakan kenapa tidak mau makan, karena nasi busuk, selanjutnya petugas dapur dipanggil. Selama di tahanan  selama 1 minggu saya tak pernah diperiksa. Pas datang pertama kali saya sakit, di bawa ke RS Polisi, setelah diperiksa ada 2 orang polisi datang melakukan pelecehan seksual, memegang (menusuk ) kemaluanku, meski tidak lama dia mempermainkan, saya merasa sakit hati.

Setiap malam ada kontrolan pilisi ke kamar, sambil berteriak , “mana gerwani,” serunya amat keras. Namun saya diam saja. Lalu oleh teman-teman NAPI saya disuruh diam dan pura-pura tidur, jika ada kontrolan. Satu hari datang polisi mau membebaskan saya, asal mau diambil menantu untuk dikawinkan dengan anaknya. Saya tidak mau, karena takut, besok akan disia-siakan dan akan diungkit tentang apa yang terjadi sekarang. Namun polisi itu selalu datang membujuk sambil membawa singkong, tapi saya tetap menolak lamarannya.

Kastinah Muda

“…setiap kali ditanya apa saya ada di lubang buaya, namun saya tetap tidak mau  mengiyakan tuduhan tersebut, saya hanya mengaku sebagai anggota SB saja. Sambil memeriksa, Papilaya menusuk-nusuk dadaku dengan besi, namun saya tetap tidak mau mengaku…” 

Setelah 1 minggu di tahanan polisi, saya di pindah ke tahanan perempuan BULU Semarang, selama disitu saya tak melakukan kegiatan apapun, karena saya tak punya apa-apa. Di “BULU” saya melihat ada 50 orang tahanan yang sepertiku. Kami tinggal dalam barak untuk 50 orang, kami harus antre untuk makan di dapur, sambil membawa piring seng warna biru, saya berpikir kenapa kok begini nasibku, namun saya mencoba bertahan. Setiap hari selalu begitu. Ada juga kawan-kawan yang mengerjakan pekerjaan tangan.

Pada tahun 1966 pada tengah malam saya dibawa ke Jakarta dengan 5 teman. Malam itu saya dipanggil untuk bersiap-siap dan harus membawa semua pakaian. Kata orang kalau diambil malam hari pasti akan dibunuh. Malam itu sambil berpamitan kami saling menjerit menangis. Namun ada CPM bilang jangan takut kita akan ke Jakarta.

Mendengar hal itu saya jadi lega, karena lepas dari kematian. Saya  diberangkatkan ke Jakarta dengan 5 orang teman laki-laki, kami semua diam tak saling berbicara kami juga tidak mengenal satu dengan yang lain.

Saya dibawa ke Penjara Bukit Duri, disana saya bertemu dengan banyak saudara ( meski tidak mengenal saya anggap semua tahanan ini adalah saudaraku) Kami tinggal dalam kamar-kamar. Ada yang satu kamar untuk 4 orang, 6 orang dan 8 orang. Setiap malam ada pemeriksaaan. Saya melihat ada orang yang disiksa.

Saya kemudian diperikasa oleh Papilaya, setiap kali ditanya apa saya ada di lubang buaya, namun saya tetap tidak mau  mengiyakan tuduhan tersebut, saya hanya mengaku sebagai anggota SB saja. Sambil memeriksa Papilaya menusuk-nusuk dadaku dengan besi, namun saya tetap tidak mengaku.

Saya mengerjakan pekerjaan tangan, dan masak sayur bayem dan kangkung. Saya punya ayam, waktu itu saya menemukan anak ayam, terus saya pelihara, ketika ayam besar saya sembelih dan dimasak dengan mie buatan sendiri. Hal ini sangat menggembirakan. Tapi mendengar itu komandan marah dan kami semua di hukum  semua untuk mencabuti rumput diseluruh halaman.

Kami mendapat makanan beras yang dicampur dengan pasir, dan pecahan gelas, dengan sayur bayam dan kangkung dengan air yang melimpah. Setiap hari begitu, saya menangis dan merasa tidak dianggap lagi sebagai manusia, diberi makanan babi dan hewan. Suatu hari saya mengeluh kenapa makan bayem dan kangkung, keluhan ini didengar komandan kami semua dihukum untuk mencabuti rumput.

Setelah itu kami disuruh memilih agama, saya memilih masuk agama Kristen, karena dahulu saya sudah Kristen. Terus saya disuruh jawab kalau ditanya komandan kalau sedang belajar. Saya di baptis oleh Dominkus Prandono di GKI. Suatu hari kami mendapat janji akan dibebaskan, namun ditunggu sampai bulan April belum juga dibebaskan.

Kamp Plantungan. /dok.sekber65

“…kalau malam sang komandan mengetuk pintu, saya takut sekali, saya kunci semua pintu dan berharap Tuhan yang menjaga…”

Pada suatu malam, kami dibawa dengan menggunakan truk, kami dibawa ke Plantungan. Ini kami syukuri karena, berharap disana kami bisa lebih bebas dan tempatnya luas. Tidak seperti di Bukit Duri kami sering dimarahi dan dihukum.

Saya mendapat tempat tidur dekat WC bersama dengan 5 orang. Setiap hari kami harus olah raga dan apel. Makan jagung, tapi lama-lama juga menipis persediaanya. Disitu saya bertugas mencuci pakaian tentara bersama dengan mbak Sarbinatun. Disitu kami juga bertugas masak. Kalau malam sang komandan mengetuk pintu, saya takut sekali, saya kunci semua pintu dan berharap Tuhan yang menjaga. Saya takut terjadi apa-apa. Karena hal itu saya sempat saya diturunkan, karena dibilang keras kepala. Saya bekerja di bagaian penjahitan. Disitu juga ada peternakan dan pertanian menanam sayur seperti bayam dan cabai.

Ketika itu kami dibawa ke mes bawah dengan Aminah, saya lihat Aminah bertugas mencuci, tiba-tiba Aminah hamil dan punya anak hingga 2 kali ia melahirkan dan anak siapa kita semua ga tahu. Setelah ada pemeriksaan di Jakarta, mengaku dengan komandan, namun komandan tidak mau mengaku.

Disitu kami juga ada kegiatan, juga ada kesehatan yang juga diperuntukkan untuk umum. Disitu juga ada kesenian, kalau ada hajatan dipakai untuk menghibur. Kalau ada yang melahirkan dibantu oleh Bu Ratih seorang bidan. Semua senang sama Bu Ratih karena kalau menolong orang melahirkan tidak sakit. Disana juga ada santiaji. Kalau hari minggu kita ke gereja, gedungnya dibikin sendiri. Pendetanya juga orang dalam. Wasimin juga ada disitu, tidur dan membantu disitu karena. Karena sering mengatur, maka dia dipanggil ibu komandan. Kalau ada tamu dari Jakarta, makanannya enak.   

Suatu hari kami mengisi formulir, dan dibilang kamu itu orang yang tidak akan pernah pulang. Tapi sebagai orang percaya yakin suatu saat bisa pulang. Sebagian orang ada yang dikirim ke Bulu. Ada perintah mengisi psikotes, terus ada yang dikirim ke Bulu, dipulangkan mulai tahun 1978 dan yang terakhir pada tahun 1979. Yang pulang tahun 1979, diberi baju, tas dan uang

Para Tapol di Kamp Plantungan

“…untuk menyambung hidup saya berjualan peyek kacang yang dititipkan di warung-warung kecil dekat rumah…”

Saya  keluar tahun 1979, dibawa ke yogya dulu pada malamnya. Pada pagi hari di bawa ke GOR, disitu kami dibebaskan. Saya dijemput oleh mas Toro kakakku dan isterinya, sekarang kakakku sudah meninggal. Dari GOR diajak pulang ke kawedanan karena kakakku  bekerja disitu. Di tempat kakak, saya selalu berselisih dengan kakak ipar, karena dia selalu mengatakan “dasar PKI”. Akhirnya saya berpikir untuk pulang ke rumah bapak tiriku pak Siman, saya diantar ponakan  yang tertua.

Disana saya bekerja di toko roti  Run, setiap dapat gaji saya ke kawedanan mengajak jajan ponakanku.  Ada kawan mengajak usaha menjahit, namun gagal. Selanjutnya saya bekerja di Toko Emas Prayoga.

Tidak lama di Purwokerto, 6 bulan kemudian saya bertemu dengan suami Drs. Sunardi. Kami ditawari untuk pindah ke Solo. Saya pikir sangat senang bisa pindah. Suamiku itu juga dari Pulau Buru keluar tahun 1978 Golongan A. Kami berjualan lotek, awalnya laris, lama-lama tidak laku  sehingga modal habis. Dalam perkawinan kami Tuhan tidak mengaruniakan anak, hingga suamiku meninggal tanggal 19 September 2012.

Sepeninggal suamiku, saya hidup sendirian di rumah peninggalan suamiku di daerah Jagalan. Rumah sederhana yang cukup luas. Melihat hal tersebut keponakan suamiku menginginkan rumah itu, dan aku mendapat ganti rumah kecil di pojokan tanah milik keluarga. Apapun harus disyukuri, karena saya bisa berteduh dan mempertahankan hidup yang hanya sebatang kara.

Untuk menyambung hidup saya berjualan peyek kacang yang dititipkan di warung-warung kecil dekat rumah. Namun sayang peyek yang dititipkan di warung itu sering tidak laku, dan akhirnya mlempem” Selanjutnya saya hanya melayani pesanan peyek, terutama dari teman-teman di gereja. Yah lumayan untuk menyambung hidup.

Pertengahan tahun lalu, Kastinah mendapat hadiah hadir dalam sebuah pernikahan berupa kulkas. Dengan kulkas yang baru ini, Kastinah merasa beruntung karena bisa menjual es batu pada tetangga sekitar. Dari jualan es batu, pendapatannya bisa untuk mencukupkan kebutuhan pembayaran listri sebesar Rp 35.000 bahkan dia mendapat sisa tujuh ribu rupiah.

Kastinah Menggoreng Peyek

“…SekBer’65 telah memberi semangat dalam sisa hidupku, kami semua senang bisa bertemu, bisa saling menguatkan…”

Hari-hariku kini tidak lagi sunyi, karena hidupku sangat berwarna. Hampir seminggu empat kali  saya mengikuti kegiatan gereja. Gereja inilah yang memberi penghiburan dan menopang sebagian hidupku. Setiap minggu dengan berjalan kaki saya pergi ke gereja untuk ibadah, selain itu di hari lain sore hari ada latihan nyanyi koor, ibadah lansia. Selain kegiatan bergereja, aku juga aktif mengikuti kegiatan SekBer’65. Ini lah organisasiku yang memberiku semangat untuk terus menyosong hidup. Organisasi yang menaungi kami yang punya nasib sama, pernah mengalami ketidakadilan, pernah di tahan di siksa tanpa proses hukum, terbelenggu di penjara dan dipandang remeh masyarakat.

SekBer’65 telah memberi semangat dalam sisa hidupku, kami semua senang bisa bertemu, bisa saling menguatkan. Melalui SekBer’65 kita bisa memperjuangkan agar pemerintah mengembalikan nama baik kami.

Melalui SekBer’65 kami dibantu untuk mengakses bantuan medis dan psikologis dari LPSK. Selama 1 tahun aku mendapat bantuan kesehatan gratis dari LPSK dengan mekanisme buku hijau. Saya bisa berobat ke RS Kasih Ibu dan RSUD Moewardi. Saya tekun berobat untuk tekanan darahku serta jantungku yang seringkali terganggu. Bahkan dengan buku hijau ini saya mendapat kaca mata gratis dan pemeriksaan telinga, Saya mendapat alat bantu dengar”.

Dari semua ini saya mohon dengan sangat, agar pemerintah memperbaiki nasib kami dan supaya sejarah kita itu bisa diketahui orang banyak. Pemerintah harus tahu saya dan kami semua tidak bersalah, masa remaja saya habis di Bukit Duri dan Plantungan. Saya ingin ada pelurusan sejarah. Kami semua tetap menunggu hak-hak kami untuk dipulihkan.

(dok/sekber65)

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *