Balada'65
Kisah Tragis Sakono, Korban Tragedi 65/66
Calon Guru yang Dibuang ke Pulau Buru
Rakhmad Hidayatulloh Permana - detikNews
Foto : Sakono, penyintas tragedi 65/66 (Dok. Sekber'65)
Jakarta – Peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 memberikan dampak yang luar biasa kepada kader PKI, simpatisan PKI, atau orang yang dituduh PKI. Jika tidak dibantai, maka pilihan lainnya ialah dibuang ke pengasingan. Sakono Prapto Yuwono termasuk salah satu orang yang dibuang akibat peristiwa itu.
Pria kelahiran 1946 itu mulanya bercita-cita menjadi guru. Sakono pernah bersekolah di sekolah guru di Purwokerto saat usianya 19 tahun. Ketika itu dia juga bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang dikenal sebagai onderbouw PKI.
“Saya sekolah guru di Purwokerto. Saya dulu ini pelajar ikatan dinas. Umur saya waktu 1965 itu baru 19 tahun. Jadi saya ini termasuk Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia atau IPI,” kata Sakono kepada detikcom, Minggu (2/4/2020).
Sakono menjelaskan bahwa alasannya saat itu masuk IPI karena tertarik dengan kegiatan ekstrakulikulernya. Dia tertarik latihan pidato bahasa Inggris di organisasi tersebut.
Pada tahun 1965, Sakono mengaku sedang menunggu waktu untuk ditugaskan mengajar. Dia mendapatkan surat tugas untuk mengajar di Purbalingga.
Namun, kondisi perpolitikan Indonesia ketika itu sedang kacau. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalang kudeta usai Resimen Cakrabirawa pimpinan Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri menewas enam jenderal, tiga perwira, satu polisi, dan satu putri jenderal.
Banyak orang ditangkap karena dituduh PKI, Sakono salah satunya. Cita-cita Sakono untuk menjadi guru pun kandas.
“Saya sudah mengantongi surat tugas untuk menjadi guru saat itu. Saya mau mengajar di Purbalingga. Tapi pas saya mau berangkat itu, ada dua polisi membawa surat dari Kapolres. Katanya saya suruh ketemu Pak Kapolres sekarang juga. Padahal saya sudah ketemu untuk wajib lapor. Saya sudah tanda tangan paginya,” tuturnya.
“Setelah itu saya diangkut, bukan untuk ketemu Pak Kapolres. Tetapi saya dimasukkan ke penjara Purbalingga. Tanggal 2 November 1965. IPI dianggap afiliasinya ke PKI,” lanjutnya.
Sakono akhirnya ditahan dengan banyak orang Purbalingga lainnya yang juga ditangkap. Saat dipenjara, Sakono mendengar pidato Presiden RI Sukarno di radio yang meminta agar penangkapan terhadap orang-orang yang dituding PKI dihentikan. Dari sana, Sakono berpikir bahwa penangkapannya ini bukan atas perintah pemerintahan resmi.
“Saya jadi waktu itu mikir saya ditangkap bukan oleh perintah pemerintah Bung Karno, tetapi oleh pemerintah siluman. Pemerintah ilegal yang berkuasa lewat-lewat jalur militer,” ujarnya mengenang masa itu.
Enam bulan berlalu, Sakono akhirnya dipindahkan ke Lapas Nusakambangan pada bulan Maret 1966. Di Nusakambangan, Sakono sempat mendiami dua lapas, LP Batu dan Nirbaya.
Di Nusakambangan selama 6 bulan Sakono diajari dan kemudian dipekerjakan untuk menyadap karet dan air nira. Selanjutnya, Sakono dipindahkan lagi ke kamp pengasingan Ambarawa.
Kemudian, Sakono harus rela dipindahkan lagi. Kali ini, Sakono dikirim ke Pulau Buru, yang dikenal sebagai tempat pembuangan para tahanan politik (tapol) 65 pada tahun 1970.
Foto : Pulau Buru (Dok. Ahmad Masaul Khoiri/detik.com)
“Kemudian tahun 70, yang masih muda dan kuat bekerja, ternyata saya dibawa ke Pulau Buru. Di sana saya 9 tahun. Maksudnya saya di sana mau dibuang, karena tidak ada batas berapa tahun saya dihukum. Jadi saya harus mati di Pulau Buru itu,” ungkapnya.
Di Pulau Buru, Sakono mengaku dibunuh secara pelan-pelan. Sebab, menurutnya, kesengsaraan yang ia alami di Pulau Buru tersebut sungguh luar biasa. Dia dipekerjakan secara paksa untuk menggarap hutan dan alang-alang untuk dijadikan persawahan.
“Saya di sana dibunuh secara pelan-pelan. Saya dipekerjakan paksa untuk menggarap hutan dan alang-alang itu untuk menjadi persawahan. Alatnya hanya cangkul,” tuturnya.
Sakono mengatakan bahwa saat itu para tapol dikelompokkan berdasarkan unit-unit. Setiap unit terdiri dari 500 orang. Semuanya punya jatah pekerjaan yang sama beratnya. Sakono berada di unit 7. “Saya di Unit 7. Satu unit 500 orang. Dibagi, ada yang masak, nyangkul, dan lain-lain, yang sakit dituduh malas. Setiap unit dijaga peleton pengawal,” imbuhnya.
Dia bersama tapol lain bekerja dari jam 7 hingga jam 4 sore. Untuk jatah makanan, Sakono mengaku hanya diberi jatah makan untuk 6 bulan saja. Jatah makanan itu terdiri dari nasi dan ikan asin yang sudah busuk. Dia menggambarkan kondisi saat itu hanya menawarkan dua pilihan: bekerja atau mati. “Dia mau mati atau tidak, tergantung kamu sendiri,” ujar Sakono.
Namun daya hidup Sakono terus menyala. Dia tidak mau menyerah. Dia bersama tapol lainnya berusaha untuk membiasakan diri bercocok tanam. Dari menanam singkong, sagu sampai padi. Belum lagi, Sakono harus tahan melawan hama dan harus membiasakan diri memakan sagu yang belum cocok di lidahnya.
“Mula-mula tidak suka, tapi ya biar tidak mati. Di sana itu harus melawan namanya hama,” kenangnya.
Foto : Pantai Saneiko. Salah satu tempat pendaratan para tapol di Pulasu Buru (Dok. BBC Indonesia)
Sakono pun akhirnya bisa melewati masa kesengsaraan di Pulau Buru. Dia dibebaskan kembali pada tahun 1979. Setahun kemudian Sakono menikah.
Dia memulai hidup baru bekerja sebagai mandor di perusahaan triplek di Purbalingga. Lalu, berpuluh-puluh tahun kemudian Sakono dipertemukan kembali dengan kawan-kawan senasibnya di Pulau Buru dalam sebuah acara reuni.
Reuni ini yang kemudian melahirkan organisasi Sekretariat Bersama 65 yang menaungi korban-korban 1965. Sakono mengaku rutin menghadiri pertemuan organisasi ini untuk membuktikan bahwa dirinya eksis di masa tuanya.
Meskipun pemerintahan Orde Baru merampas masa mudanya ketika itu, Sakono mengaku tidak menyimpan dendam. Dia sudah mengampuni ketidakadilan yang dia dapatkan.
“Saya tidak ada dendam kepada mereka yang berbuat jahat kepada saya. Saya sudah mengampuni dengan ikhlas pemerintah Soeharto dengan tangan kanannya Sarwo Edhie,” ujarnya.
Kini, di usianya yang sudah 74 tahun, Sakono menghabiskan sisa usianya dengan kegiatan berkebun.
“Saya lansia mandiri. Setiap hari saya berkebun, warisan tanah dari rumah saya yang di Purbalingga yang saya jual. Ada sawi, terong daun singkong,” tuturnya.
Artikel ini sudah tayang di Detik.com dengan judul Pasca G30S : Cerita korban tragedi G30S, niat jadi Guru malah dikirim ke Pulau Buru