Petani Dalam Pusaran Konflik Agraria
Oleh : Prijo Wasana
Dikisahkan dalam banyak cerita sejarah, awal mula manusia ada di dunia dan bisa bertahan hidup adalah karena tanah memberikan makanan yang cukup kepada manusia. Belum ada kepemilikan tanah pada saat itu, sehingga mereka masih bebas berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari makanan berupa buah – buahan ataupun hewan yang mudah didapat dan bisa dimakan.
Seiring jumlah manusia yang semakin berkembang dan beranak pinak, maka mulai muncul kelompok – kelompok atau koloni dalam mencari makan. Dalam koloni mulai muncul pembagian kerja antara laki – laki dan perempuan. Laki – laki bertugas berburu mencari hewan yang bisa dimakan, sementara perempuan bertani agar menghasilkan makanan yang bisa dimakan di sekitar gua – gua tempat tinggal mereka. Sambil merawat anak-anak keturunan mereka. Dari kebutuhan bertani inilah, mulai muncul penguasaan atas tanah dengan pembagian tanah untuk di tanami.
Dalam perkembangannya, pembagian tanah antar koloni kerap memicu konflik antar koloni, memperebutkan tanah yang subur untuk di tanami dengan tanah yang tandus. Dalam proses panjang sejarah manusia, perebutan tanah ini mendorong koloni yang kalah menjadi budak dan pekerja. Sementara pihak pemenang menjadi pemilik tanah menjadi tuan tanah.
Di tanah yang kita tempati sekarang dan dikenal dengan nama Indonesia, bukti sejarah zaman perbudakan khususnya di Jawa sangat minim. Namun ditemukan beberapa bukti sejarah bahwa manusia Jawa telah mengenal berburu dan bertani, dengan ditemukannya perkakas dari batu.
Ratusan ribu tahun berjalan, sejarah manusia terus berkembang hingga memasuki jaman kerajaan. Berbeda dengan kerajaan di Eropa dalam penguasaan tanah, Konsep penguasaan tanah di Jawa di bagi kedalam petak – petak kecil. Raja membagi – bagi tanahnya kepada kerabat dan pengawal setia raja dalam hirakhi kerajaan. Dan sebagai imbal balik, raja menerima upeti dari hasil buminya. Sementara dalam menggarap tanah, kerabat dan pengawal setia raja mempekerjakan buruh tani di desa sebagai pekerja.
Sesekali terjadi perebutan kekuasaan atas tanah dan wilayah. Misalnya kita jumpai dalam cerita Ken Arok, anak petani yang berhasil mengalakan seorang Akuwu bernama Tunggul Ametung di wilayah Tumapel, yang merupakan bagian dari wilayah kerajaan Kediri.
Namun secara umum tak ada perlawanan berarti yang berani menggugat konsep kepemilikan tanah oleh raja dan pengawalnya. Raja menjadi penguasa tunggal hingga masuk Penjajah Belanda di Jawa pada tahun 1596 di Banten. Penjajah Belanda mulai mengambil tanah secara paksa yang menjadi milik raja, baik dengan perang maupun damai melalui perjanjian -perjanjian yang menguntungkan Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, penguasan atas tanah sedikit demi sedikit menjadi milik Belanda. Selama kurun waktu tahun 1831 – 1867 diberlakukan sistem tanam paksa dimana jenis tanaman ditentukan oleh Belanda dan hasilnya juga dikuasai oleh penjajah Belanda. Petani hanya menjadi buruh dengan penderitaan yang perih. Dalam kurun waktu tersebut, dalam catatan sejarah keuntungan penjajah Belanda mencapai 967 juta gulden.
Tahun 1870, terjadi perubahan politik di negeri Belanda. Kemenangan kelompok politik Liberal di Negeri Belanda, berpengaruh juga pada negeri jajahan. Kritik kuat dari kelompok liberal terhadap penderitaan petani di negeri jajahan mendorong pemerintah Belanda untuk mulai mengatur pertanahan di tanah jajahan. Kemudian disusunlah Undang – undang Agraria yang pertama kali ada (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Namun dalam prakteknya, Agrarische Wet ini justru mendorong liberalisasi penguasaan tanah di tanah jajahan semakin meluas. Pemerintah Belanda memberikan peluang kepada para swastawan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka dapat menanamkan modalnya di berbagai usaha kegiatan ekonomi, menyewa tanah untuk perkebunan perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Berdirilah berbagai usaha ekonomi, seperti perkebunan kopi, teh, nila, kapas, gula, dan kina yang dikuasai oleh swasta asing.
Masa Kemerdekaan
Memasuki masa kemerdekan, penguasaan atas tanah mengalami penyesuaian. Tepatnya mulai tanggal 24 september 1960, Presiden Soekarno mengganti Agrarische Wet bikinan Belanda dengan Undang – undang Pokok Agraria (UUPA). Ditetapkan sebagai Undang – undang dengan Nomor 5 tahun 1960. Penetapan UUPA ini menjadi pedoman baru dan menghapus sistem kolonial terkait hukum pertanahan. Kepemilikan tanah oleh rakyat diakui sebagai wujud kemerdekaan. Namun demikian tetap dengan menghargai hukum adat yang masih berlaku sebagian, seperti dalam wilayah vorstenlanden yang masih menjadi milik kerajaan. Lahirnya UUPA ini menjadi semangat kaum tani dalam menggarap tanah mereka dan diperingati setiap tahun sebagai Hari Tani Nasional.
Melalui penetapan UU No 5 tahun 1960 ini, terdapat dasar hukum kuat yang mengatur tentang hal-hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada UU No 5 meliputi hak milik tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak pembukaan tanah, dan hak memungut hasil hutan.
Spirit UUPA tahun 1960 adalah mengentaskan kemiskinan dengan melakukan distribusi tanah kepada petani. Dengan kondisi waktu itu kurang lebih 80% rakyat Indonesia adalah petani dan sebagian besar dari petani tersebut hidup melarat. Kemelaratan ini menurut Soekarno terjadi akibat 60% petani berstatus sebagai “marhaen” atau buruh tani yang menggarap lahan pertanian milik “tuan tanah” bukan milik sendiri. Hal tersebut menjadi perhatian pertama Soekarno terhadap nasib petani dilihat dari penetapan aturan yang mendukung petani, penetapan Hari Tani, Pembentukan kelompok tani, hingga pemberian lahan kepada petani.
Kedua, meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Ketiga, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Proses ini tak sepenuhnya berjalan mulus, para tuan tanah yang kebanyakan adalah priyayi, pedagang, bekas antek belanda, bahkan tokoh agama tak sepenuhnya ikhlas untuk berbagi tanahnya dengan buruh tani. Konflik antara tuan tanah dan buruh tani semakin meruncing dibalut politik. Buruh tani yang sebagian besar adalah anggota PNI dan PKI, terlibat konflik di desa-desa dengan tuan tanah yang kebanyakan adalah anggota partai – partai yang berseberangan dengan PNI dan PKI, yakni Masyumi dan NU.
Dan mimpi besar Soekarno terhadap perubahan nasib petani dengan UUPA tak berlangsung lama. Konflik yang makin meruncing diakhiri dengan peristiwa 1965. Tentara khsususnya Angkatan Darat di bawah Soeharto mengambil peran dalam pergolakan politik. Hal ini menyebabkan kejatuhan Soekarno sebagai Presiden dan terjadi pergantian pemerintah dari Soekarno kepada Soeharto. 1965 menandai babak baru dengan nama Orde Baru. Lain halnya dengan cara pandang Soekarno terhadap petani, perhatian pemerintah Orde Baru terhadap petani dalam implementaasi UU Pokok Agraria mengalami pergeseran, tak menyentuh persoalan penguasaan tanah sebagai inti dari Reforma Agraria melainkan fokus pada peningkatan produksi pangan dengan mengikuti Gerakan Revolusi Hijau.
Kehadiran Revolusi Hijau ini dinilai justru berpihak ke pemilik lahan sebagai pihak yang diuntungkan, sedangkan petani yang lahannya sempit dan buruh tani tak mendapatkan keuntungan serta menjadi pihak yang dirugikan. Permasalahan ini tidak dapat memecahkan masalah pertanahan. Hal ini berlanjut selama lebih dari tiga puluh tahun hingga kejatuhan Soeharto pada tahun 1998.
Pasca Soeharto jatuh, memasuki masa reformasi, gairah diskusi mengenai pertanahan kembali berlanjut. Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA menjadi pegangan utama dalam melihat masalah pertanahan. Meski demikian, terdapat paradigma baru pemerintah reformasi dalam melihat bidang pertanian yang disesuaikan dengan zamannya. UUPA yang lahir pada tahun 1960 dilatarbelakangi paradigma pemerintah Orde Lama bahwa masyarakat Indonesia mayoritas adalah petani. Sementara pada masa reformasi, kehidupan rakyat tidak hanya soal pertanian yang utama, tapi juga mulai menyentuh bidang perindustrian.
Pada era Presiden Megawati, sebagai Putri Soekarno harapan besar buruh tani mampu melakukan pembaruan Agraria. Dalam pemerintahannya yang singkat, Megawati selaku Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pertimbangan Megawati mengeluarkan keputusan ini untuk penyesuaian UU Pokok Agraria dengan perkembangan zaman serta ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Keppres Nomor 34 Tahun 2003 dianulir dan muncul Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum. Hal ini mengalami pertentangan dari beberapa organisasi non pemerintah dikarenakan perpres ini tidak sesuai dengan semangat UU Pokok Agraria yang lebih memperjuangkan dan melindungi hak petani atas tanah. Menanggapi hal tersebut, pemerintah akhirnya mengeluarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 26 Tahun 2005. Perpres ini mengatur secara lebih rinci mengenai sistem ganti rugi.
Dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi sekarang, permasalahan mengenai pertanahan ini menjadi salah satu perhatian yang penting dengan dikeluarkannya dua peraturan presiden. Pertama, Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan. Kedua, Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan adanya aturan tentang Reforma Agraria ini sekaligus melengkapi Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Namun dalam perjalanan hamper sepuluh tahun Pemerintahan Jokowi, peraturan yang ada belum sepenuhnya menggembirakan buat kaum tani. Konflik agraria di era Presiden Jokowi masih banyak terjadi terutama pada kebijakan pembangunan infrastruktur yang massif. Meskipun petani seolah pada posisi yang diuntungkan dengan mengganti istilah ganti rugi dengan ganti untung, namun konsep tanah sebagai wujud kedaulatan petani dalam menghasilkan pangan dan merawat alam belum sepenuhnya bisa sejalan dengan peningkatan kesejahteraan.
-Artikel ini juga dimuat di Majalah Palawa edisi terbaru. Jika anda berminat mendapat edisi terbaru majalah kami bisa memnghubungi admin baik via email atau Whatsapp (0818250804/Didik Dyah)-